Merasa
sendiri dalam keramaian. Mungkin itulah kalimat yang tepat untuk mengambarkan
keadaan jiwa yang seakan dijauhi oleh jiwa-jiwa lainnya. Jiwa yang mulai pudar
keyakinannya dan mulai mempertanyakan kebenaran akan eksistensi Tuhannya.
Kafir
adalah kata terakhir yang keluar saat aku bertanya tentang keberadaan Tuhan.
Berharap dapat menemukan jawaban, aku bertanya kepada salah seorang teman yang
aku anggap sebagai seseorang yang taat beribadah.
Saat
itu, Percakapan aku mulai dengan pertanyaan sederhana, “Apakah Tuhan itu ada?
Jika ia ada, buktikan kepadaku keberadaannya!”
“Keberadaanku dan keberadaanmu adalah bukti
bahwa Tuhan itu ada, karena dialah yang menciptakan kita”. Jawab temanku itu
dengan penuh keyakinan.
Kemudian
aku kembali bertanya padanya, “Bukankah kita ada karena orang tua kita tidak
mandul?”
“Ya. Namun, tanpa kehendak Tuhan maka semua
itu tak akan terjadi, sebab segala yang
terjadi adalah atas kehendak Tuhan.”
“Kalau
begitu adanya, dalam hal ini Tuhan hanyalah pihak yang menghendaki sesuatu itu
ada/tercipta namun Ia bukanlah pencipta dari sesuatu itu.”
“Tuhan menciptakan kita melalui orang tua
kita yang diberi kekuasaan untuk itu”
“Berarti
Tuhan itu tidaklah sempurna, karena pada saat mencipta, Tuhan masih membutuhkan
sesuatu lainnya yang membantunya untuk mencipta.”
Temanku
pun diam dan memalingkan pandanganya dariku.
Dan
pada akhirnya, jawaban tak kudapat.
Apakah
salah ketika kita mempertanyakan Tuhan? Setiap orang memiliki jawabannya
masing-masing atas pertanyaan tersebut. Namun, aku yang dalam Kartu Tanda
Penduduknya tertulis beragama Islam, menjawab pertanyaan itu dengan jawaban
“Tidak Salah”. Sebab untuk meyakini Tuhan tersebut kita sebagai manusia
memerlukan proses. Proses yang awalnya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
yakin menjadi yakin.
Aku
tidak ingin menjadi seorang muslim hanya karena budaya yang diturunkan secara turun-temurun
oleh suatu kelompok masyarakat yang disebut Keluarga.
Dalam
agama Islam ada yang dikenal sebagai Rukun Islam. Salah satu Rukun Islam
tersebut ialah mengucapkan dua kalimat syahadat yang dalam bahasa indonesianya
berbunyi, “aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah. Dan Muhammad adalah utusan
Allah”.
Mengenai
dua kalimat syahadat tersebut aku mulai kembali bertanya pada diri sendiri. Aku
BERSAKSI tiada Tuhan selain Allah atas apa? Apa aku pernah melihat Tuhan? Apa
aku pernah mendengar suara Tuhan? Kenapa aku bisa yakin akan keberadaan Tuhan?
Aku bersaksi atas apa?
Satu-satunya
jawaban yang aku temui adalah “aku bersaksi atas pengetahuan Orang Tuaku”. Yang
pengetahuan tersebut aku dapat sejak kecil kemudian diperkuat dengan
pengetahuan guru agamaku pada saat dibangku sekolah.
Pada
akhirnya pengetahuan-pengetahuan tersebut berubah menjadi suatu keyakinan yang
tak bisa kupertanggung jawabkan kebenarannya.
Kini
aku mendapat istilah baru dalam kehidupan ini, “Agamaku adalah budayaku, Tuhanku
adalah Mitosku”
0 komentar:
Posting Komentar